Pasukan Perdamaian dan Jihadis Indonesia
Suriah Hari Ini - Indonesia memang negeri yang unik. Selain beragam (plural) dari berbagai segi (suku, agama/kepercayaan, ras, antar golongan dan tingkat sosial), juga beragam dalam “pemerintahan”. Selain, ada pemerintahan resmi yang saat ini dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga ada “pemerintahan-pemerintahan lain” yang punya komando tersendiri pula.
Dalam dunia internasional, pemerintah Indonesia termasuk yang aktif mengirim pasukan perdamaian. Mulai dari Kongo pada masa lalu, Balkan (Bosnia), sampai yang terakhir di Libanon. Namun, selain itu ada “pasukan” (swasta) lain yang dikirim ke tempat-tempat konflik.
Laporan yang dirilis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pimpinan Sidney Jones, melaporkan sedikitnya 50 warga Indonesia berjihad ke Suriah lewat Turki melawan tentara Pemerintah Bashar Al-Assad sejak 2012.
Bahkan laporan yang tidak resmi, memperkirakan sekitar 200 orang Indonesia sudah “berjuang” bersama-sama kelompok anti Assad. Lebih banyak dari laporan lembaga yang berbasis di Jakarta di atas (IPAC). Bahkan kabarnya, sudah 47 orang Indonesia tewas akibat perang di Suriah, walau laporan terakhir ini belum bisa dikonfirmasikan, tetapi tentu tak ada asap kalau tak ada api.
Kalau pasukan perdamaian pemerintah jelas perekrutan dan biayanya. Bahkan bekas tentara pasukan perdamaian, banyak yang menjadi “orang”, di antaranya, ya, presiden kita sekarang ini, SBY. Sebenarnya, “pasukan swasta” juga punya sistem perekrutan tersendiri dan dananya juga tak terhingga, walaupun tak pernah diverifikasi apalagi “diaudit”.
Kalau pemerintah (baca, institusi intelejen Indonesia) mau serius menelusuri dari mana uang itu berasal, lewat siapa dan mengalir ke mana? (follow the money), bisa digulung, minimal dicegah atau diperingati (baca, ancam). Tapi, tampak ada “pembiaran”, apakah ini yang dimaksud SBY sebagai diplomasi “Sejuta Kawan Tanpa Musuh”?
Jika, melihat pola resminya, tentu tidak. Apalagi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, beberapa waktu yang lalu, menyatakan Indonesia menyerukan masyarakat internasional mengedepankan diplomasi untuk menyelesaikan berbagai konflik di dunia. Menurut Marty, bahwa pada kenyataannya berbagai masalah situasi konflik di dunia tidak dapat diatasi semata melalui penggunaan kekuatan.
Masih menurut Menteri Marty, di tengah kompleksitas situasi konflik - terdapat tiga hal yang mendesak yaitu; penghentian kekerasan, memfasilitasi bantuan kemanusiaan, dan memulai proses politik yang inklusif yang merefleksikan aspirasi rakyat negara-negara yang berkonflik.
Indonesia, menurut Marty, harus mendorong kepada Dewan Keamanan PBB menjadi pihak yang menyerukan penyelesaian secara damai, mengajak semua pihak yang bertikai untuk bersedia bertemu di meja perundingan.
Lalu apa jadinya bila para “pasukan swasta” yang menyebut jihadis itu kembali dari Suriah? Tentu masyarakat Indonesia juga yang akan merasakannya. Dulu saja eks Afghanistan, sampai kini masih “bergentayangan” membuat teror. Mulai dari bom natal, Poso, Bali, Jakarta, dan tempat lainnya.
Entah apa yang akan terjadi. Apalagi tahun 2014, sebagai tahun “politik” tentu akan semakin rawan konflik. Dari konflik itulah ada kelompok yang memetik keuntungan politik.
Apalagi, sumbu sudah dinyalakan, dan ranjau sudah dipasang di mana-mana. Mulai dari konflik di Sampang-Madura yang tak terselesaikan sampai kini, sampai beredarnya buku terbitan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tak dibantah lembaga itu, tentang kesesatan Syiah. Bahkan buku itu ratusan buah ditemukan di tangan para terduga teroris yang ditangkap polisi (Densus 88) di Bogor dan Pamulang. Bukan tidak mungkin eks “pasukan swasta” Indonesia dari medan konflik Suriah ikut meramaikan tahun “politik”.
Apalagi isu yang dihembuskan di Indonesia, konflik di Suriah adalah antara Syiah pendukung Bashar Assad vs Sunni, oposisi plus pasukan bayaran dari negeri Timur Tengah (Saudi Arabia, Qatar, Kuwait dan sebagainya). Padahal konflik di Suriah itu, awalnya adalah persoalan dalam negeri. Gerahnya kelompok-kelompok terhadap pemerintahan yang terlalu lama memerintah (rezim). Plus ada kepentingan asing, terhadap Bashar Assad yang susah “diatur” dan lebih berpihak ke Cina dan Rusia.
Tentu sebagai negara Indonesia, kita tak mau juga menjadi negara yang mudah “diatur” negara asing lainnya. Membiarkan agitasi anti Syiah dan “pasukan swasta” berlatih perang ke Suriah, sama saja, membakar api dalam sekam, yang di dalamnya ada ranjau darat. Tentu kalau sudah begitu Indonesia bukan lagi negeri yang unik. Audzubikamindzalik.
Dalam dunia internasional, pemerintah Indonesia termasuk yang aktif mengirim pasukan perdamaian. Mulai dari Kongo pada masa lalu, Balkan (Bosnia), sampai yang terakhir di Libanon. Namun, selain itu ada “pasukan” (swasta) lain yang dikirim ke tempat-tempat konflik.
Laporan yang dirilis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pimpinan Sidney Jones, melaporkan sedikitnya 50 warga Indonesia berjihad ke Suriah lewat Turki melawan tentara Pemerintah Bashar Al-Assad sejak 2012.
Bahkan laporan yang tidak resmi, memperkirakan sekitar 200 orang Indonesia sudah “berjuang” bersama-sama kelompok anti Assad. Lebih banyak dari laporan lembaga yang berbasis di Jakarta di atas (IPAC). Bahkan kabarnya, sudah 47 orang Indonesia tewas akibat perang di Suriah, walau laporan terakhir ini belum bisa dikonfirmasikan, tetapi tentu tak ada asap kalau tak ada api.
Kalau pasukan perdamaian pemerintah jelas perekrutan dan biayanya. Bahkan bekas tentara pasukan perdamaian, banyak yang menjadi “orang”, di antaranya, ya, presiden kita sekarang ini, SBY. Sebenarnya, “pasukan swasta” juga punya sistem perekrutan tersendiri dan dananya juga tak terhingga, walaupun tak pernah diverifikasi apalagi “diaudit”.
Kalau pemerintah (baca, institusi intelejen Indonesia) mau serius menelusuri dari mana uang itu berasal, lewat siapa dan mengalir ke mana? (follow the money), bisa digulung, minimal dicegah atau diperingati (baca, ancam). Tapi, tampak ada “pembiaran”, apakah ini yang dimaksud SBY sebagai diplomasi “Sejuta Kawan Tanpa Musuh”?
Jika, melihat pola resminya, tentu tidak. Apalagi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, beberapa waktu yang lalu, menyatakan Indonesia menyerukan masyarakat internasional mengedepankan diplomasi untuk menyelesaikan berbagai konflik di dunia. Menurut Marty, bahwa pada kenyataannya berbagai masalah situasi konflik di dunia tidak dapat diatasi semata melalui penggunaan kekuatan.
Masih menurut Menteri Marty, di tengah kompleksitas situasi konflik - terdapat tiga hal yang mendesak yaitu; penghentian kekerasan, memfasilitasi bantuan kemanusiaan, dan memulai proses politik yang inklusif yang merefleksikan aspirasi rakyat negara-negara yang berkonflik.
Indonesia, menurut Marty, harus mendorong kepada Dewan Keamanan PBB menjadi pihak yang menyerukan penyelesaian secara damai, mengajak semua pihak yang bertikai untuk bersedia bertemu di meja perundingan.
Lalu apa jadinya bila para “pasukan swasta” yang menyebut jihadis itu kembali dari Suriah? Tentu masyarakat Indonesia juga yang akan merasakannya. Dulu saja eks Afghanistan, sampai kini masih “bergentayangan” membuat teror. Mulai dari bom natal, Poso, Bali, Jakarta, dan tempat lainnya.
Entah apa yang akan terjadi. Apalagi tahun 2014, sebagai tahun “politik” tentu akan semakin rawan konflik. Dari konflik itulah ada kelompok yang memetik keuntungan politik.
Apalagi, sumbu sudah dinyalakan, dan ranjau sudah dipasang di mana-mana. Mulai dari konflik di Sampang-Madura yang tak terselesaikan sampai kini, sampai beredarnya buku terbitan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tak dibantah lembaga itu, tentang kesesatan Syiah. Bahkan buku itu ratusan buah ditemukan di tangan para terduga teroris yang ditangkap polisi (Densus 88) di Bogor dan Pamulang. Bukan tidak mungkin eks “pasukan swasta” Indonesia dari medan konflik Suriah ikut meramaikan tahun “politik”.
Apalagi isu yang dihembuskan di Indonesia, konflik di Suriah adalah antara Syiah pendukung Bashar Assad vs Sunni, oposisi plus pasukan bayaran dari negeri Timur Tengah (Saudi Arabia, Qatar, Kuwait dan sebagainya). Padahal konflik di Suriah itu, awalnya adalah persoalan dalam negeri. Gerahnya kelompok-kelompok terhadap pemerintahan yang terlalu lama memerintah (rezim). Plus ada kepentingan asing, terhadap Bashar Assad yang susah “diatur” dan lebih berpihak ke Cina dan Rusia.
Tentu sebagai negara Indonesia, kita tak mau juga menjadi negara yang mudah “diatur” negara asing lainnya. Membiarkan agitasi anti Syiah dan “pasukan swasta” berlatih perang ke Suriah, sama saja, membakar api dalam sekam, yang di dalamnya ada ranjau darat. Tentu kalau sudah begitu Indonesia bukan lagi negeri yang unik. Audzubikamindzalik.
Oleh: Ahmad Taufik, jurnalis dan mahasiswa program master Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Padjadjaran
Sumber : Nefosnews
0 komentar:
Posting Komentar