Mencari Pelaku di Balik Serangan Gas Klorin di Suriah
Suriah Hari Ini - Intervensi Amerika Serikat di Ukraina dan penurunan fokus negara itu terhadap isu Suriah serta kemenangan militer Presiden Bashar al-Assad di medan tempur, telah membuka jalan bagi kelompok-kelompok teroris untuk menggunakan senjata kimia dengan harapan dapat menarik kembali perhatian Washington.
Sejumlah media dunia melaporkan tentang serangan gas beracun pada April lalu di desa Kfar Zeita, Hama, sekitar 201 kilometer utara Damaskus. Gas klorin, zat kimia yang dipakai dalam Perang Dunia I dilaporkan telah digunakan di Suriah. Dua warga desa tewas dan puluhan lainnya terluka dalam insiden tragis itu.
Televisi nasional Suriah menuding teroris Front al-Nusra melancarkan serangan kimia dan mengatakan ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok teroris juga berniat menyerang dua kota lain dengan bahan kimia.
Serangan kimia juga terjadi musim panas tahun lalu di dekat Damaskus yang menewaskan ratusan orang. Insiden ini hampir memuluskan jalan Barat untuk menggempur Suriah, namun pada akhirnya berkat diplomasi beberapa negara seperti Rusia, rencana serangan tersebut berhasil digagalkan dengan opsi pemusnahan senjata kimia Suriah.
Serangan kimia terbaru kembali memunculkan pertanyaan tentang siapa yang berada di balik peristiwa itu dan apa target mereka? Mungkinkah aksi itu dilakukan oleh militer Suriah seperti yang diklaim oleh oposisi atau justru kelompok-kelompok teroris berada di baliknya
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dan memperjelas dimensi kasus, ada baiknya melihat sekilas tentang situasi medan tempur di Suriah dan perimbangan kekuatan di sana.
Sejak pecahnya konflik di Suriah, banyak langkah sudah ditempuh untuk menggulingkan pemerintahan Assad. Kekacauan itu awalnya berwujud protes sosial dan akhirnya berubah menjadi perang sipil setelah campur tangan beberapa negara regional dan AS serta beberapa negara Eropa.
Barat dan sekutu regional mereka telah memberikan dukungan politik, finansial, dan militer untuk menjatuhkan pemerintah Damaskus. Akan tetapi dengan semua upaya itu, militer Suriah tetap mampu mempertahankan kesolidannya dan sukses mengendalikan situasi.
Kesuksesan militer dalam membebaskan sejumlah daerah yang dikepung oleh teroris dan kegagalan oposisi untuk membentuk forum tunggal, telah memaksa masyarakat dunia untuk menyetujui solusi politik terhadap krisis di Suriah.
Dengan memperhatikan kesuksesan militer Suriah di medan tempur, sepertinya tidak rasional jika Damaskus menggunakan senjata kimia untuk menunjukkan keunggulan mereka di hadapan teroris, karena kelompok-kelompok teroris telah dihancurkan di sejumlah daerah.
Hal yang tampaknya lebih logis adalah upaya kelompok-kelompok teroris untuk menggunakan senjata kimia demi mengembalikan kekuatannya yang telah hilang di medan perang.
Sebenarnya, ada dua faktor yang memperkuat hipotesa penggunaan senjata kimia oleh teroris. Pertama, manuver mereka untuk menarik perhatian AS dan negara-negara Eropa terhadap krisis Suriah dan meningkatkan tekanan internasional terhadap Assad. Dan kedua, ambisi kelompok teroris untuk memperoleh keunggulan di medan perang.
Oleh karena itu, skenario beberapa kubu oposisi dan negara regional untuk mengundang intervensi militer AS di Suriah telah gagal dan sekarang tidak ada lagi diskusi serius mengenai opsi militer terhadap negara itu.
Penentangan global terhadap kebijakan superioritas AS dan langkah untuk mengembalikan perimbangan di sistem internasional telah menyebabkan konfrontasi hebat antara Washington dan Moskow. Konfrontasi itu dimulai di Suriah dan sekarang melebar ke masalah Ukraina, di mana beberapa pihak bahkan berbicara tentang dimulainya Perang Dingin baru.
Pertumbuhan kekuatan Cina juga telah menciptakan tantangan baru bagi Gedung Putih dan memaksa AS untuk mengalihkan fokus militernya ke kawasan Asia-Pasifik.
Singkat kata, transformasi-transformasi baru di sistem global telah memaksa AS untuk menyelesaikan krisis Suriah secara diplomatik dan mengurangi perhatiannya terhadap negara tersebut. (SHI/IRIB)
Sejumlah media dunia melaporkan tentang serangan gas beracun pada April lalu di desa Kfar Zeita, Hama, sekitar 201 kilometer utara Damaskus. Gas klorin, zat kimia yang dipakai dalam Perang Dunia I dilaporkan telah digunakan di Suriah. Dua warga desa tewas dan puluhan lainnya terluka dalam insiden tragis itu.
Televisi nasional Suriah menuding teroris Front al-Nusra melancarkan serangan kimia dan mengatakan ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok teroris juga berniat menyerang dua kota lain dengan bahan kimia.
Serangan kimia juga terjadi musim panas tahun lalu di dekat Damaskus yang menewaskan ratusan orang. Insiden ini hampir memuluskan jalan Barat untuk menggempur Suriah, namun pada akhirnya berkat diplomasi beberapa negara seperti Rusia, rencana serangan tersebut berhasil digagalkan dengan opsi pemusnahan senjata kimia Suriah.
Serangan kimia terbaru kembali memunculkan pertanyaan tentang siapa yang berada di balik peristiwa itu dan apa target mereka? Mungkinkah aksi itu dilakukan oleh militer Suriah seperti yang diklaim oleh oposisi atau justru kelompok-kelompok teroris berada di baliknya
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dan memperjelas dimensi kasus, ada baiknya melihat sekilas tentang situasi medan tempur di Suriah dan perimbangan kekuatan di sana.
Sejak pecahnya konflik di Suriah, banyak langkah sudah ditempuh untuk menggulingkan pemerintahan Assad. Kekacauan itu awalnya berwujud protes sosial dan akhirnya berubah menjadi perang sipil setelah campur tangan beberapa negara regional dan AS serta beberapa negara Eropa.
Barat dan sekutu regional mereka telah memberikan dukungan politik, finansial, dan militer untuk menjatuhkan pemerintah Damaskus. Akan tetapi dengan semua upaya itu, militer Suriah tetap mampu mempertahankan kesolidannya dan sukses mengendalikan situasi.
Kesuksesan militer dalam membebaskan sejumlah daerah yang dikepung oleh teroris dan kegagalan oposisi untuk membentuk forum tunggal, telah memaksa masyarakat dunia untuk menyetujui solusi politik terhadap krisis di Suriah.
Dengan memperhatikan kesuksesan militer Suriah di medan tempur, sepertinya tidak rasional jika Damaskus menggunakan senjata kimia untuk menunjukkan keunggulan mereka di hadapan teroris, karena kelompok-kelompok teroris telah dihancurkan di sejumlah daerah.
Hal yang tampaknya lebih logis adalah upaya kelompok-kelompok teroris untuk menggunakan senjata kimia demi mengembalikan kekuatannya yang telah hilang di medan perang.
Sebenarnya, ada dua faktor yang memperkuat hipotesa penggunaan senjata kimia oleh teroris. Pertama, manuver mereka untuk menarik perhatian AS dan negara-negara Eropa terhadap krisis Suriah dan meningkatkan tekanan internasional terhadap Assad. Dan kedua, ambisi kelompok teroris untuk memperoleh keunggulan di medan perang.
Oleh karena itu, skenario beberapa kubu oposisi dan negara regional untuk mengundang intervensi militer AS di Suriah telah gagal dan sekarang tidak ada lagi diskusi serius mengenai opsi militer terhadap negara itu.
Penentangan global terhadap kebijakan superioritas AS dan langkah untuk mengembalikan perimbangan di sistem internasional telah menyebabkan konfrontasi hebat antara Washington dan Moskow. Konfrontasi itu dimulai di Suriah dan sekarang melebar ke masalah Ukraina, di mana beberapa pihak bahkan berbicara tentang dimulainya Perang Dingin baru.
Pertumbuhan kekuatan Cina juga telah menciptakan tantangan baru bagi Gedung Putih dan memaksa AS untuk mengalihkan fokus militernya ke kawasan Asia-Pasifik.
Singkat kata, transformasi-transformasi baru di sistem global telah memaksa AS untuk menyelesaikan krisis Suriah secara diplomatik dan mengurangi perhatiannya terhadap negara tersebut. (SHI/IRIB)
0 komentar:
Posting Komentar