Kenangan Seorang Marinir: Selamatkan Suriah yang Majemuk
Gereja Armenia di Raqqa kini dikuasai pemberontak dan dijadikan masjid; bendera hitam Al Qaida berkibar di atasnya. |
Suriah Hari Ini - Hanya segelintir dari surat kabar utama dunia yang berani mengungkapkan penderitaan kehidupan masyarakat beragam agama dan etnis minoritas Suriah di daerah-daerah yang kini telah diduduki pemberontak.
Surat kabar Lebanon, The Daily star dan Al-Akhbar telah meliput kondisi orang-orang Armenia, suku Kurdi, warga Irak, kaum Druze, umat Kristen, dan aliran Ismailiyah Suriah, dalam menghadapi ancaman-ancaman dari pihak oposisi Suriah. Liputan terakhir Al-Akhbar, memberitakan tentang dua pebisnis Kristen Armenia yang berani tetap tinggal di Suriah Selatan dan mencoba untuk mempertahankan mata pencaharian mereka di daerah kekuasaan para pemberontak. Mereka ditangkap, dipaksa berpindah keyakinan, dieksekusi, dan dilarang dikuburkan.
Oleh berita-berita utama pers Barat, semenjak hari pertama konflik, oposisi Suriah dipromosikan kepada dunia, sebagai representasi dari demokrasi, kemerdekaan, dan masa depan majemuk bagi Suriah yang baru. Namun dalam dua tahun terakhir, mereka justru menunjukkan kebalikan dari itu semua. Siapapun yang pernah tinggal di Suriah sebelum masa konflik, pasti mengetahui bahwa Ba’athist Suriah selalu memiliki keunikan tersendiri di wilayahnya, hal ini dikarenakan kebebasan tingkat tinggi yang bisa diperoleh kaum minoritas.
Saya, secara pribadi telah menyaksikan berbagai ritual kaum beragama dan etnis minoritas Suriah biasa dilakukan dengan nyaman. Salib bisa dilihat dimana-mana di hampir setiap pusat kota, lantunan pelayanan doa yang disuarakan melalui pengeras suara, bisa didengar dari gereja, berlomba dengan panggilan sholat (adzan) bagi Muslimin yang berkumandang dari masjid terdekat. Bintang warna-warni kaum Druze terlihat di beberapa bagian kota Damaskus dan seluruh desa-desa di bagian selatan negara. Setiap pengunjung ke Aleppo akan langsung mengenali bahwa barang-barang khas kaum Armenia, dengan tulisan Armenia, dengan bangga dijual di pasar-pasar.
Di wilayah Hauran, orang akan bisa mengunjungi memorial bagi Patriark kaum Druze, Sultan al-Atrash, yang baru-baru ini didirikan atas sponsor pemerintah. Ia terkenal dengan ucapannya, “Agama adalah untuk Tuhan, Tanah Air adalah untuk semua.”
Di puluhan hotel di sekitar pusat kota Damaskus, penari-penari Kurdi yang bangga mengungkapkan kepada para pengunjung identitas ke-Kurdi-an mereka, sangat mudah ditemui. Salah satu patung Kristus terbesar di dunia juga baru (sebelum konflik) didirikan di sebuah desa tua Saidnaya. Sayang biara ortodoks kuno yang ada disana, dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi korban serangan roket dari pemberontak-pemberontak asing yang berharap untuk menguasai wilayah pegunungan yang mendominasi desa-desa di sekitarnya itu.
Berbicara tentang Saidnaya, dalam salah satu kunjungan saya pada pertengahan tahun 2000-an, saya begitu terkejut menyaksikan liputan khusus yang ditayangkan oleh SANA—Stasiun TV Nasional Suriah. Liputan itu melaporkan sebuah keajaiban berkaitan dengan Wanita Agung Biara Saidnaya abad ke-6. Dikisahkan, seorang jutawan muslim Saudi diserang dan dirampok saat sedang berkendara menuju sebuah biara Kristen (Biara ini dihormati juga oleh kalangan muslim). Leher pria ini digorok, dan ia dilemparkan ke bagian belakang jok mobilnya kemudian ditinggal begitu saja dalam kondisi sekarat.
Saat polisi menemukannya, pria ini bersumpah bahwa Perawan Suci Maria telah mendatanginya, kemudian menyembuhkan tenggorokannya yang digorok serta mengembalikan keadaannya menjadi sehat kembali seperti sedia kala. Cerita ini diberitakan di tayangan prime time televisi. Menurut saya, justru hal yang paling ajaib pada episode itu adalah, kenyataan bahwa sebuah kisah, tentang sebuah keajaiban yang terkait dengan desa Kristen, ditayangkan oleh berita nasional, di sebuah negara yang 70-75% penduduknya adalah Muslim Sunni.
Ini adalah sebuah sisi dari Suriah yang hanya bisa diketahui oleh mereka yang pernah menghabiskan waktu lama di sana. Sayangnya, standar cerita tentang konflik di Suriah telah dibangun oleh wartawan, para pakar dan tokoh-tokoh politik yang hampir atau tak pernah sama sekali menginjakkan kaki di Suriah. Inilah kenapa, selain dari ketergantungan informasi yang konyol pada sumber tunggal yaitu para pemberontak, perlahan kesalahan-pahaman sangat besar mengenai masyarakat dan sejarah asli rakyat Suriah sengaja diciptakan. Surat kabar ternama yang sangat berpengaruh seperti New-York Times, Washington Post, atau CNN terus-menerus mengidentifikasikan pemerintahan Assad sebagai” Dominasi-Syiah”, atau kalau tidak, Assad sebagai “pro-Syiah.” Dari sinilah, mereka membangun opini publik tentang perang sektarian sipil,” Syiah vs Sunni”.
Siapapun yang tahu tentang identitas dan kepercayaan kaum Alawi esoteris, pasti tahu bahwa mereka sama sekali tak punya kemiripan dengan Syiah, tak perduli bagaimanapun akar sejarahnya. Kedekatan hubungan Iran dan Suriah hanyalah demi kemudahan bersama sebagai bagian dari “poros perlawanan” . dan hal ini sangat sedikit terkait dengan Syiah.
Saat terjadi invasi Israel ke Lebanon Selatan di tahun 2006, ketika saya berjalan-jalan di daerah Kristen di Kota Tua Damaskus. Saya melewati sebuah toko kue milik seorang Kristen. Dari jendela, saya melihat banyak kue-kue Hizbullah. Kue-kue ini berhiaskan bendera hijau kuning Hizbullah, lengkap dengan tangan terkepal menggenggam senapan AK-47 yang mengkilap, juga dihiasi sebuah kapal perang Israel yang terbakar. Kue-kue ini dibuat untuk merayakan kesuksesan serangan drone yang dilancarkan Pasukan Hizbullah ke sebuah kapal perang Israel yang berlabuh di lepas pantai Lebanon.
Kristiani pembuat kue tersebut membuat dan menjual kue-kue semacam itu, bukanlah karena ia “ pro-Syiah”— melainkan hanya sebagai wujud keinginannya berbagi rasa dan menunjukkan bahwa ia mendukung pihak ”perlawanan”. Tuduhan bahwa Assad (atau rezimnya) adalah Syiah yang bertujuan pro-Syiah jelas berdasar pada kebodohan dan kurangnya informasi.
Oleh karenanya, berdasarkan pengalaman saya tinggal di Suriah, dan banyaknya saya berhubungan dengan orang-orang Suriah baik di dalam maupun luar negerinya, serta pengalaman pribadi saya bergulat dengan tragedi yang telah menimpa sebuah negeri yang sangat indah tersebut,akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan:
Surat kabar Lebanon, The Daily star dan Al-Akhbar telah meliput kondisi orang-orang Armenia, suku Kurdi, warga Irak, kaum Druze, umat Kristen, dan aliran Ismailiyah Suriah, dalam menghadapi ancaman-ancaman dari pihak oposisi Suriah. Liputan terakhir Al-Akhbar, memberitakan tentang dua pebisnis Kristen Armenia yang berani tetap tinggal di Suriah Selatan dan mencoba untuk mempertahankan mata pencaharian mereka di daerah kekuasaan para pemberontak. Mereka ditangkap, dipaksa berpindah keyakinan, dieksekusi, dan dilarang dikuburkan.
Oleh berita-berita utama pers Barat, semenjak hari pertama konflik, oposisi Suriah dipromosikan kepada dunia, sebagai representasi dari demokrasi, kemerdekaan, dan masa depan majemuk bagi Suriah yang baru. Namun dalam dua tahun terakhir, mereka justru menunjukkan kebalikan dari itu semua. Siapapun yang pernah tinggal di Suriah sebelum masa konflik, pasti mengetahui bahwa Ba’athist Suriah selalu memiliki keunikan tersendiri di wilayahnya, hal ini dikarenakan kebebasan tingkat tinggi yang bisa diperoleh kaum minoritas.
Saya, secara pribadi telah menyaksikan berbagai ritual kaum beragama dan etnis minoritas Suriah biasa dilakukan dengan nyaman. Salib bisa dilihat dimana-mana di hampir setiap pusat kota, lantunan pelayanan doa yang disuarakan melalui pengeras suara, bisa didengar dari gereja, berlomba dengan panggilan sholat (adzan) bagi Muslimin yang berkumandang dari masjid terdekat. Bintang warna-warni kaum Druze terlihat di beberapa bagian kota Damaskus dan seluruh desa-desa di bagian selatan negara. Setiap pengunjung ke Aleppo akan langsung mengenali bahwa barang-barang khas kaum Armenia, dengan tulisan Armenia, dengan bangga dijual di pasar-pasar.
Di wilayah Hauran, orang akan bisa mengunjungi memorial bagi Patriark kaum Druze, Sultan al-Atrash, yang baru-baru ini didirikan atas sponsor pemerintah. Ia terkenal dengan ucapannya, “Agama adalah untuk Tuhan, Tanah Air adalah untuk semua.”
Di puluhan hotel di sekitar pusat kota Damaskus, penari-penari Kurdi yang bangga mengungkapkan kepada para pengunjung identitas ke-Kurdi-an mereka, sangat mudah ditemui. Salah satu patung Kristus terbesar di dunia juga baru (sebelum konflik) didirikan di sebuah desa tua Saidnaya. Sayang biara ortodoks kuno yang ada disana, dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi korban serangan roket dari pemberontak-pemberontak asing yang berharap untuk menguasai wilayah pegunungan yang mendominasi desa-desa di sekitarnya itu.
Berbicara tentang Saidnaya, dalam salah satu kunjungan saya pada pertengahan tahun 2000-an, saya begitu terkejut menyaksikan liputan khusus yang ditayangkan oleh SANA—Stasiun TV Nasional Suriah. Liputan itu melaporkan sebuah keajaiban berkaitan dengan Wanita Agung Biara Saidnaya abad ke-6. Dikisahkan, seorang jutawan muslim Saudi diserang dan dirampok saat sedang berkendara menuju sebuah biara Kristen (Biara ini dihormati juga oleh kalangan muslim). Leher pria ini digorok, dan ia dilemparkan ke bagian belakang jok mobilnya kemudian ditinggal begitu saja dalam kondisi sekarat.
Saat polisi menemukannya, pria ini bersumpah bahwa Perawan Suci Maria telah mendatanginya, kemudian menyembuhkan tenggorokannya yang digorok serta mengembalikan keadaannya menjadi sehat kembali seperti sedia kala. Cerita ini diberitakan di tayangan prime time televisi. Menurut saya, justru hal yang paling ajaib pada episode itu adalah, kenyataan bahwa sebuah kisah, tentang sebuah keajaiban yang terkait dengan desa Kristen, ditayangkan oleh berita nasional, di sebuah negara yang 70-75% penduduknya adalah Muslim Sunni.
Ini adalah sebuah sisi dari Suriah yang hanya bisa diketahui oleh mereka yang pernah menghabiskan waktu lama di sana. Sayangnya, standar cerita tentang konflik di Suriah telah dibangun oleh wartawan, para pakar dan tokoh-tokoh politik yang hampir atau tak pernah sama sekali menginjakkan kaki di Suriah. Inilah kenapa, selain dari ketergantungan informasi yang konyol pada sumber tunggal yaitu para pemberontak, perlahan kesalahan-pahaman sangat besar mengenai masyarakat dan sejarah asli rakyat Suriah sengaja diciptakan. Surat kabar ternama yang sangat berpengaruh seperti New-York Times, Washington Post, atau CNN terus-menerus mengidentifikasikan pemerintahan Assad sebagai” Dominasi-Syiah”, atau kalau tidak, Assad sebagai “pro-Syiah.” Dari sinilah, mereka membangun opini publik tentang perang sektarian sipil,” Syiah vs Sunni”.
Siapapun yang tahu tentang identitas dan kepercayaan kaum Alawi esoteris, pasti tahu bahwa mereka sama sekali tak punya kemiripan dengan Syiah, tak perduli bagaimanapun akar sejarahnya. Kedekatan hubungan Iran dan Suriah hanyalah demi kemudahan bersama sebagai bagian dari “poros perlawanan” . dan hal ini sangat sedikit terkait dengan Syiah.
Saat terjadi invasi Israel ke Lebanon Selatan di tahun 2006, ketika saya berjalan-jalan di daerah Kristen di Kota Tua Damaskus. Saya melewati sebuah toko kue milik seorang Kristen. Dari jendela, saya melihat banyak kue-kue Hizbullah. Kue-kue ini berhiaskan bendera hijau kuning Hizbullah, lengkap dengan tangan terkepal menggenggam senapan AK-47 yang mengkilap, juga dihiasi sebuah kapal perang Israel yang terbakar. Kue-kue ini dibuat untuk merayakan kesuksesan serangan drone yang dilancarkan Pasukan Hizbullah ke sebuah kapal perang Israel yang berlabuh di lepas pantai Lebanon.
Kristiani pembuat kue tersebut membuat dan menjual kue-kue semacam itu, bukanlah karena ia “ pro-Syiah”— melainkan hanya sebagai wujud keinginannya berbagi rasa dan menunjukkan bahwa ia mendukung pihak ”perlawanan”. Tuduhan bahwa Assad (atau rezimnya) adalah Syiah yang bertujuan pro-Syiah jelas berdasar pada kebodohan dan kurangnya informasi.
Oleh karenanya, berdasarkan pengalaman saya tinggal di Suriah, dan banyaknya saya berhubungan dengan orang-orang Suriah baik di dalam maupun luar negerinya, serta pengalaman pribadi saya bergulat dengan tragedi yang telah menimpa sebuah negeri yang sangat indah tersebut,akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan:
Pertempuran di Suriah adalah antara mereka yang ingin mempertahankan kemajemukan (pluralitas) Suriah dan identitas sekularnya, yaitu mereka yang ingin menjamin kebebasan pribadi untuk beragama dan bersosial, melawan mereka yang ingin mendirikan pemerintahan radikal/fanatik yang segaris dengan Taliban atau negara Saudi.
Mereka ini, di antara warga negara Suriah asli (tidak termasuk sejumlah besar massa pejuang asing) adalah minoritas. Dan ini berarti, bahwa “oposisi pemberontak” saat ini, sebenarnya adalah pemberontak teroris yang agresif (dan inilah hal terpenting yang tak akan pernah mau diakui pakar-pakar media besar). Sedihnya, pemberontakan ini justru diperkuat dukungan dan dana besar yang mengalir dari Saudi, Qatar serta NATO. Saya mengatakan semua ini, dalam keadaan sepenuhnya mengakui, bahwa telah terjadi kejahatan nyata dan dan usaha pelemahan terhadap rezim.
Pakar-pakar Barat itu tidak mengetahui apa yang menjadikan Assad bisa terus berkuasa; sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan setiap prediksi dan gembar-gembor mereka dua tahun terakhir, atas segeranya hancurnya Assad. Padahal merekalah yang berusaha untuk membingkai cerita ini sebagai kisah sektarian. Mereka bertanya-tanya: mengapa Damaskus, yang jelas-jelas berpenduduk mayoritas Sunni belum juga mampu menggulingkan Sang Diktator “yang dibenci”?
Jawabannya sederhana, Mayoritas penduduk Suriah, baik itu masyarakat Sunni, Syiah, kaum Alawi, ummat Kristen, Suku Kurdi, dan aliran Ismaili, adalah individu-individu waras. Mereka telah melihat bagaimana kehidupan mereka saat bebas berada dibawah “pilihan” mereka sendiri. Mereka sadar, bahwa di sanalah identitas sejati bangsa Suriah, dan itu jauh lebih penting dari sekedar kesetiaan mereka kepada penguasa yang saat ini memegang tampuk pemerintahan. Kesetiaan mereka adalah kesetiaan pada Suriah sebagai sebuah kawasan Mediterania yang majemuk, yang tidak menginginkan untuk mengubah dirinya menjadi seperti Saudi Arabia. (SHI/LiputanIslam)
Brad Hoff adalah mantan Marinir AS. Antara tahun 2000-2004 dia bertugas di Markas Bataliyon, Quantico. Setelah tugas militernya usai, ia hidup, belajar, dan berpergian ke berbagai penjuru Suriah dari tahun 2004-2010. Saat ini ia mengajar di Texas. Tulisan asli dimuat di www.globalresearch.ca
0 komentar:
Posting Komentar