Buyarnya Mimpi Pengantin Jihadis
Suriah Hari Ini - Di Eropa makin banyak remaja perempuan diam-diam terbang ke Suriah
bergabung dengan milisi Islamic State. Impian mereka berjuang bersama
pasangan jihadis.
Berapa banyak anak perempuan dari Eropa yang telah bergabung dengan ISIS, jumlah pastinya tidak diketahui. Data setengah resmi menyebutkan, sekitar 300 anak perempuan dari Perancis, Inggris, Jerman dan negara Eropa lainnya terbang ke Suriah tanpa sepengetahuan orangtuanya, untuk bergabung dengan Islamic State.
Pusat kajian radikalisme internasional di King's College London melaporkan, anak perempuan Eropa yang bergabung dengan ISIS mayoritasnya berusia antara 16 sampai 24 tahun. Banyak diantaranya lulusan perguruan tinngi, dan fasih menggunakan perangkat jejaring digital modern.
Modusnya, mereka hilang tiba-tiba, hingga suatu saat mengontak orang tuanya di Eropa, dari sebuah lokasi di Suriah. Seorang reporter TV France 24 melaporkan, kebanyakan perempuan remaja yang datang ke Suriah itu tidak tahu persis, ancaman bahaya apa yang menanti di sana.
Gambaran romantika
"Banyak remaja perempuan itu bergabung dengan milisi teror ISIS, dengan berbekal gambaran romantis pengantin jihadis," ujar direktur pelindung konstitusi Jerman Hans-Georg Maaßen kepada media. Biasanya mereka berkenalan dengan lelaki yang menjadi milisi Islamic State lewat jalur internet.
"Mereka terbuai dan samasekali tidak tahu, apa yang menanti di medan perang," tambah Maaßen. Impian mereka, adalah menemukan pasangan idaman dan kemudian menikah serta beranak pinak, untuk menyebarkan agama Islam. Selain itu, juga mendukung perjuangan rekan seagama.
Peran sosial media
Pemicu maraknya tren jihad di kalangan remaja perempuan, menurut penelitian Montasser al De'emeh dari Universitas Atwerpen, Belgia, adalah meningkatnya fobi terhadap Islam sekaligus menguatnya partai radikal kanan.
Selain itu, pengalaman masa kanak-kanak memainkan peranan menentukan. Banyak remaja perempuan secara psikologis merasa tidak memiliki tempat dalam kemasyarakatan. Mereka merasa ditolak semua pihak. Saat dikontak oleh sesama Muslim, yang menyatakan senasib dan sepenanggungan, muncul perasaan mereka dicintai dan diterima.
Itu sebabnya dalam kasus ini, jejaring soial media menainkan peranan menentukan dalam perekrutan jihadis perempuan. Petunjuk untuk berangkat ke Suriah agar tidak dicurigai aparat keamanan, juga disebar lewat sosial media.
Tapi bagaimana realita di Suriah, berbeda dengan gambaran ideal yang disebar. PBB melaporkan, organisasi teror Islamic State memaksa 1.500 wanita dan remaja perempuan menjadi budak seksual. Juga dilaporkan kerap terjadi penganiayaan. Impian romantis buyar, dan sejumlah mantan jihadis perempuan juga telah kembali ke negara masing-masing di Eropa. (SHI/DW)
Pusat kajian radikalisme internasional di King's College London melaporkan, anak perempuan Eropa yang bergabung dengan ISIS mayoritasnya berusia antara 16 sampai 24 tahun. Banyak diantaranya lulusan perguruan tinngi, dan fasih menggunakan perangkat jejaring digital modern.
Modusnya, mereka hilang tiba-tiba, hingga suatu saat mengontak orang tuanya di Eropa, dari sebuah lokasi di Suriah. Seorang reporter TV France 24 melaporkan, kebanyakan perempuan remaja yang datang ke Suriah itu tidak tahu persis, ancaman bahaya apa yang menanti di sana.
Gambaran romantika
"Banyak remaja perempuan itu bergabung dengan milisi teror ISIS, dengan berbekal gambaran romantis pengantin jihadis," ujar direktur pelindung konstitusi Jerman Hans-Georg Maaßen kepada media. Biasanya mereka berkenalan dengan lelaki yang menjadi milisi Islamic State lewat jalur internet.
"Mereka terbuai dan samasekali tidak tahu, apa yang menanti di medan perang," tambah Maaßen. Impian mereka, adalah menemukan pasangan idaman dan kemudian menikah serta beranak pinak, untuk menyebarkan agama Islam. Selain itu, juga mendukung perjuangan rekan seagama.
Peran sosial media
Pemicu maraknya tren jihad di kalangan remaja perempuan, menurut penelitian Montasser al De'emeh dari Universitas Atwerpen, Belgia, adalah meningkatnya fobi terhadap Islam sekaligus menguatnya partai radikal kanan.
Selain itu, pengalaman masa kanak-kanak memainkan peranan menentukan. Banyak remaja perempuan secara psikologis merasa tidak memiliki tempat dalam kemasyarakatan. Mereka merasa ditolak semua pihak. Saat dikontak oleh sesama Muslim, yang menyatakan senasib dan sepenanggungan, muncul perasaan mereka dicintai dan diterima.
Itu sebabnya dalam kasus ini, jejaring soial media menainkan peranan menentukan dalam perekrutan jihadis perempuan. Petunjuk untuk berangkat ke Suriah agar tidak dicurigai aparat keamanan, juga disebar lewat sosial media.
Tapi bagaimana realita di Suriah, berbeda dengan gambaran ideal yang disebar. PBB melaporkan, organisasi teror Islamic State memaksa 1.500 wanita dan remaja perempuan menjadi budak seksual. Juga dilaporkan kerap terjadi penganiayaan. Impian romantis buyar, dan sejumlah mantan jihadis perempuan juga telah kembali ke negara masing-masing di Eropa. (SHI/DW)
0 komentar:
Posting Komentar